Pendidikan
Van Daalen menempuh pendidikan di Koninklijke Militaire Academie dan pada tanggal 3 Juni 1856 diangkat sebagai letnan dua oleh Infanteri Hindia. Pada tanggal 1859 ia diangkat sebagai instruktur di sekolah meriam biasa di Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta Timur). Setelah keluar dari sekolah itu, ia ikut dalam Perang Bone (1860), dan setelah itu diangkat sebagai letnan satuEkspedisi
Di tahun itu juga, ia diangkat sebagai ajudan komandan militer di Palembang, LetKol. Willem Egbert Kroesen. Dalam kedudukan itu, Van Daalen mengikuti Kroesen sebagai komandan militer ke Celebes (kini Sulawesi) dan sekitarnya. Dalam kapasitas itu, Van Daalen ikut bagian pada ekspedisi itu (April 1862) untuk meredam gejolak di Kanipi dan Turan. Pada bulan November dilancarkan ekspedisi ke Mandar (Balangnipa) dan pada tahun 1863 ke Tana Toraja.Pada bulan Januari 1865, ia diberhentikan dengan hormat sebagai ajudan dan ditunjuk sebagai wakil staf jenderal, belakangan pada tahun 1869 ikut bergabung dalam dinas komandan KNIL, W.E. Kroesen. Dalam kedudukan ini, Van Daalen mencetak banyak andil dalam persiapan dari sejumlah perbaikan yang ada saat itu. Untuk itu, pada tahun 1870 ia dianugerahi Salib Ksatria dalam Orde van de Nederlandse Leeuw.
Perang Aceh Kedua
Setelah Jend. Kroesen berhenti sebagai komandan KNIL, Kapt. Van Daalen ditunjuk ke Biro Perlengkapan Perang di Sumatera di bawah pimpinan Gustave Verspijck. Ia ditempatkan sebagai Ketua Staf Brigade II dalam Perang Aceh Kedua, dan berjasa dalam pertempuran-pertempuran berikutnya, seperti di Lembu maupun dekat Masjid Raya.Pencemaran nama baik Loudon
Atas jasa-jasanya dalam berbagai medan pertempuran, Gotfried Coenraad Ernst van Daalen diusulkan oleh Jend. Jan van Swieten dianugerahi Militaire Willems-Orde kelas 3 (suatu pengecualian untuk pangkatnya), bahkan ada pula usulan untuk menaikkan pangkatnya sebagai mayor.Namun, pada pertemuan, GubJend. James Loudon menolak berjabat tangan, di mana paman GCE. van Daalen, E.C. van Daalen, panglima tertinggi dalam Perang Aceh Pertama setelah kematian Johan Harmen Rudolf Köhler, sebagai penyebab utama dianggap sebagai penyebab kekalahan karena awalnya Loudon mendengarkan bawahan Van Daalen sebelum versi komandan.
Selain itu, Van Daalen sudah lama menjadi ajudan komandan KNIL, Jend. yang namanya (di mata Van Daalen) yang namanya terkubur setelah kematiannya melalui pengusutan ini. Pengusutan ini menyimpulkan kegagalan pertama terjadi akibat kepemimpinan ekspedisi sementara Van Daalen (dan juga lainnya) berpikir bahwa komandan pasukan telah meminta semua bahan diperbaiki dan staf umum diangkat, namun secara tetap pemerintah menolaknya selama bertahun-tahun, sehingga kegagalan bukan karena tentara (berkebalikan dengan yang diduga pemerintahan lewat pemeriksaan ini).
Di pertemuan ini, ketika gubernur jenderal menyambut perwira dari angkatan utama ekspedisi kedua atas keadaan lukanya memintanya berjabat tangan, ditolak dan dengan demikian wakil raja dihina di depan umum.
Pengunduran dari pasukan
Kasus ini dibawa ke dewan penyelidikan dan banyak yang berpikir bahwa pengunduran perwira yang memang berjasa bakal terjadi. Namun, dewan memutuskan dan menyatakannya tidak bersalah atas tuduhan pelanggaran. Berdasarkan Dekrit Kerajaan tertanggal 24 November 1859, pemerintah (juga Loudon) harus memberi kebebasan pada perwira yang dinyatakan tidak bersalah oleh dewan penyelidikan secara terhormat dan dengan hak pensiun penuh dibebastugaskan, dan hal itu kemudian digunakan oleh Loudon karena lebih memilih Van Daalen diberhentikan secara tidak hormat.Tak dianugerahi Militaire Willems-Orde
Nama van Van Daalen tetap ada dalam daftar pencalonan Militaire Willems-Orde, namun ia didiskualifikasi oleh menteri jajahan dan namanya dihapus oleh raja. Lalu ia banting setir bekerja di pabrik gula yang ada di Surabaya berkat bantuan sahabatnya Guenther von Bueltzingsloewen.Gubernur militer Aceh
Pada tanggal 6 Mei 1905, Van Daalen ditunjuk sebagai Gubernur Aceh dan Sekitarnya meskipun oleh Dewan Hindia, dan pada tahun 1903 oleh Christiaan Snouck Hurgronje yang kecewa terutama karena rasa jijik Van Daalen kepada pribumi, kurangnya kebijaksanaan dan juga melanggar prinsip-prinsip pemerintahan dan hukum. Hendrikus Colijn juga berpikir bahwa Van Daalen tak memiliki kecakapan pemerintahan sipil, dan menulis: "Sekalipun ia tidak harus dari kita, seperti suku Aceh dan pribumi lainnya, yang memerlukan kehormatan, ia masih membutuhkan para ahli yang merasa ngeri bila saya tak dapat membuktikan." Walau demikian, ia mengetahui bahwa pengalaman Aceh yang penting untuk jabatan ini merupakan persyaratan yang sulit ditemukan dari Van Daalen. Selain itu, waktu tidak cukup matang untuk adanya gubernur sipil. Menteri Jajahan Idenburg juga melihat Van Daalen lebih baik tidak menjadi gubernur Aceh, melainkan menjadi komandan pasukan. Joannes Benedictus van Heutsz mengakui bahwa Van Daalen "kadang-kadang kasar dan keras, ketat dan semena-mena dalam aksinya", namun ia juga dapat melindungi dan memaafkan.Di masa jabatannya, perlawanan menurun meskipun bukan berarti padam sama sekali. Pada tanggal 1907 sebuah artikel yang ditulis oleh seseorang dengan nama samaran Wekker (WA. van Oorschot) berjudul Hoe beschaafd Nederland in de twintigste eeuw vrede en orde schept op Atjeh (Bagaimana Beradabnya Belanda di Abad ke-20 dalam Menciptakan Perdamaian dan Ketertiban di Aceh) muncul di surat kabar De Avondpost terbitan Den Haag, yang mengungkap penyalahgunaan wewenang di Aceh, karena sampai tahun 1907, Van Oorschot bertugas sebagai lettu di marechaussee, sehingga sebuah buku akan dipublikasikan. Jadi, dinas bawahan yang dibawa ke Aceh kelewat keras, sebab karena sebuah pelanggaran kecil hukuman diberlakukan, pribumi disiksa, informan dibunuh, miskinnya moril pasukan dengan menggunakan peluru dumdum. Wekker menjelaskan kebrutalan terjkadi karena ketidakcakapan pasukan. Penerbitan ini menimbulkan perdebatan sengit di Tweede Kamer dan akhirnya hingga penyelidikan yang dilakukan oleh GubJend. Van Heutsz terhadap kebijakan di Aceh yang mengakibatkan Van Daalen harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Pada bulan Oktober 1907, hubungan antara Van Heutsz dan Van Daalen masih tetap baik. Van Heutsz mendukung gubernur di tengag-tengah rumor yang meliputi Den Haag dan pers Belanda. Maka ia menulis: "Dari pembicaraan para anggota parlemen, setidaknya Anda perlu merasa terhina dan menteri yang sekarang bereaksi sedang takut pada anggota parlemen dan hanya dapat bersaksi atas wataknya." Menteri Jajahan Dirk Fock juga selalu membela. Namun hal itu menyebabkan Tweede Kamer semakin menyerukan penyelidikan di tempat atas tindakan Van Daalen.
Di bawah tekanan Fock, Van Heutsz, Van Heutsz melanjutkan sendiri penyelidikan dan di akhir bulan November bertolak ke Aceh bersama dengan komandan pasukan Marinus Bernardus Rost van Tonningen. Di sana, penyelidikan atas tindakan pasukan dilakukan oleh M.B. Rost van Tonningen, sementara Van Heutsz mengurusi bagian sipil dari penyelidikan untuk laporannya.
Pada tanggal 24 Desember, Van Heutsz memberikan surat setelah memberikan pernyataan sehingga atas pandangannya mengenai pemerintahan sipil Van Daalen gagal: "Sadar atau tidak, kesalahan penafsiran prinsip utama yang saya bangun menurut pengalaman saya sebagai gubernur, dipandang perlu dan efektif untuk kepuasan bertahap dari keadaan di Aceh setelah dihentikannya tindakan agresi militer, beberapa gagasan atas tujuan kami telah banyak mencemaskan saya." Kemudian diikuti daftar masalah yang harus diubah. Jadi, kepala keluarga mereka dipenjarakan sebagai paksaan untuk mencapai tujuan di masa akan datang, juga atas pengurangan pendapatan dan pengenaan sanksi politik. Selain itu, para kepala perlu membawa senjata dan kalau perlu sejumlah pengikut bersenjata.
Tak lama kemudian, Van Daalen meminta pembebastugasan dirinya dari kedudukannya sekarang, yang terpenuhi pada tanggal 4 Mei 1908.
Sebagai gubernur, ia digantikan oleh mantan LetKol. H.N.A. Swart.
http://www.facebook.com/
aku melihatnya serasa insting membunuhku dari keturunan maluku muncul